Selamat Datang Pemerintahan Baru
Kepada 100 pelanggan pertama MemoBDM, saya ucapkan terima kasih.
Judul berita Kompas, 21 Mei 1998, sebenarnya terlalu spekulatif dan berisiko. Editor Kompas sudah mendapat informasi bahwa Presiden Soeharto akan mundur pada 21 Mei 1998. Namun, jam berapa pengumuman pengunduran diri Soeharto dan kapan Kompas beredar menjadi faktor penting. Dalam politik yang dinamis setiap waktu keputusan bisa berubah. Salah timing bisa berabe.
Dalam pertemuan pers tengah malam di rumah Malik Fajar, Jalan Indramayu No 14 Jakarta, sudah hampir bisa dipastikan Presiden Soeharto akan mundur. Jalan-jalan di kota Jakarta mencekam. Barikade kawat berduri dipasang di sejumlah titik. Peralatan militer masih siaga. Puing-puing gedung terbakar masih belum dibersihkan,
Amien Rais dan Nurcholish Madjid berbicara kepada pers. Suasana hening. Mencekam.
“…. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah saya mengadakan jumpa pers ini kecuali saya mengajak Saudara-saudara semua ... marilah kita bersyukur kepada Allah karena sekali lagi kita akan memasuki babakan baru dalam sejarah modern Indonesia ini, yaitu mengucapkan selamat tinggal kepada pemerintahan yang lama dan menyambut datangnya pemerintahan yang baru," kata Amien Rais didampingi Nurcholish Madjid, Kamis, 21 Mei 1998 dini hari. Amien adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah…
21 Mei 1998 adalah hari libur, Kompas seharusnya tidak terbit. Namun karena perkembangan politik Tanah Air yang begitu cepat, redaksi Kompas memutuskan untuk terbit. Kompas cetak terlambat. Menunggu perkembangan politik, jumpa pers Amien Rais di rumah Malik Fadjar. Judulnya dipilih: Selamat Datang Pemerintahan Baru. Diambil dari pernyataan Amien Rais.
Kompas baru selesai cetak pukul 0600. Dan baru beredar sekitar jam 08.00. Tak banyak loper yang mengedarkan. Karyawan dan wartawan Kompas ikut mengedarkan koran pinggir jalan. Pemerintahan Baru adalah judul spekulatif tapi juga historis. "Pemerintahan Baru" — dua kata yang waktu itu penuh tafsir, harapan, dan kecemasan.
Sedang sebagai foto utama adalah foto Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta. Di hadapan satu juta orang, Sultan menyerukan mendukung gerakan reformasi 1998 dan Maklumat Sri Sultan Hamengkubono X. Itulah Pisuwonan Agung.
Jika Soeharto tak jadi mundur, hari boleh jadi nasib Kompas berbeda. Spekulasi politik itu akhirnya menjadi kenyataan karena melalui layar televisi, Kamis 21 Mei 1998 pukul 10.00, Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden dan digantikan Wapres BJ Habibie.
Soeharto menyatakan berhenti. Hari itu juga, BJ Habibie diambil sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia. Soeharto mundur karena krisis ekonomi yang telah berubah menjadi krisis politik. Demo mahasiswa menekan elite. Tekanan publik membubung. Empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat. Kerusuhan pecah di Jakarta. Sejumlah gedung terbakar. Banyak warga terbakar. Gedung DPR diduduki pengunjuk rasa. Dan, akhirnya Orde Baru runtuh, 21 Mei 1998.
Tapi, 27 Tahun Kemudian
Hari ini, 21 Mei 2025. Sudah 27 tahun Indonesia tanpa Soeharto. Kita hidup di bawah sistem demokrasi. Presiden dipilih langsung. Kepala daerah dipilih rakyat. Pers bebas. Partai menjamur. Media sosial menggila. Tapi... apakah itu semua cukup disebut sebagai keberhasilan reformasi? “Reformasi bergerak mundur,” kata Hendardi, pelaku sejarah tahun 1998 yang saat itu menjabat Ketua PBHI dalam siniar dengan saya.
Partai memang hadir tapi kehilangan suara. DPR memang ada tapi seperti tiada. Pers terlihat bebas, tapi masih banyak bergumul dengan problem domestik. Pemilu berjalan, tapi banyak penyimpangan. Demokrasi menjadi serba seakan-akan. “Itulah competitive authoritarian,” kata Sukidi teman ngobrol saya. Sukidi lulusan Havard University yang esainya kerap membuat gerah dan panas telinga. Ia menulis Pinokio Jawa. ia menulis Machiavelli Jawa. Bingkai teoritiknya sangat kuat.
Konsep competitive authoritarian yang dirujuk Sukidi disampaikan Steven Levitsky dan Lucan Way. Sistem ini tampak seperti demokrasi — ada pemilu, parlemen, pers, hukum— namun penguasa menyalahgunakan institusi tersebut untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak adil. Competitive authoritarian adalah bentuk pemerintahan yang berada di antara demokrasi dan otoritarianisme, memanfaatkan demokrasi sebagai kemasan, tapi mempraktikkan kontrol otoriter secara sistematis. UU memang disahkan DPR dengan ketukan palu. Tapi tak semua anggota DPR tahu apa yang sebenarnya diketok.
Yang Dulu Kita Lawan, Kini Menjadi Normal
Dwi Fungsi ABRI memang dihapus. Tapi sekarang kita punya multi fungsi TNI. TNI/Polri memang tidak ada di DPR. TNI dan Polri masuk kementerian, mengisi jabatan sipil, bahkan menjabat Dirut BUMN.
Menteri Pertahanan menjadi pengarah satuan tugas penertiban kawasan hutan yang membikin pengusaha sawit menghadapi ketidakpastian. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menjadi pelaksana satgas sawit. Jalurnya: perdata, pidana atau administratif. Di sejumlah tempat mulai dipasang patok kawasan hutan dikuasai pemerintah. Seorang menyebut ini nasionalisasi. Tapi saya tidak bertanya lebih jauh.
Pemimpin sipil genit mengundang militer masuk. Militerisme kembali hadir dalam wajah yang lebih halus. Tapi daya cengkeram sama kuat. Korupsi masih menjadi jantung masalah. Meski KPK telah dilemahkan. Regulasi diotak-atik. Pengurus BUMN bukan lagi penyelenggara negara. Tak wajib lapor kekayaan. Ada transaksi yang berjalan sunyi — tapi berdampak dalam. Partai politik yang dulu dijanjikan reformis, kini justru menjadi pabrik kekuasaan — bukan sekolah kebijakan.
Ada menteri men-endorse putrinya menjadi utusan khusus Presiden. Ibu dan anak-anak sama anggota DPR. Ayahnya menteri, putranya pimpinan lembaga negara. Ayahnya DPR, anaknya DPD. Semuanya lewar jalan demokrasi. Wamen menjadi komisaris. Menteri menjabat CEO BUMN. Utusan khusus menjadi komisaris utama. Padahal, ada UU Kementerian Negara dan putusan MK yang melarang. Di negeri ini dipenuhi politisi warisan. Dan nyaris tak menyisakan ruang bagi mereka yang benar-benar berangkat dari suara rakyat. Demokrasi telah diganti vetokrasi.
Demokrasi yang Melelahkan
Demokrasi kita formal. Ada pemilu. Ada kampanye. Ada pilihan. Tapi di dalamnya: Rakyat dibuat bingung oleh pencitraan. Pilihan direduksi oleh algoritma dan suara sintesis. Politik makin menjadi teater, bukan perdebatan gagasan. Kita tidak sedang mundur ke masa Orde Baru. Kita sedang melangkah dalam lingkaran — berjalan jauh, tapi kembali ke titik awal yang tak kita kenali lagi.
Memo untuk Reformasi
Reformasi bukan hanya soal mengganti pemimpin. Tapi memperbaiki watak kekuasaan. Sayangnya, 27 tahun kemudian, kita harus jujur: yang berganti hanya wajahnya — struktur dan budaya kekuasaannya tetap bertahan.
Tapi Harapan Belum Mati.
Masih ada ruang. Masih ada suara. Masih ada memo. Masih ada ingatan. Karena selama kita terus menulis, terus mengingat, kita sedang melawan pelupaan yang menjadikan kita bangsa biasa-biasa saja. Sejarah tak harus ditulis oleh sang pemenang. Tapi juga dari perspektif jalanan. Dan jangan sampai sejarah digelapkan…
Reformasi tak pernah benar-benar selesai. Ia harus terus diperjuangkan — meski pelan, meski sepi…..
Malam telah larut saat saya menulis memo ini. MemoBDM sudah dibaca oleh lebih dari 100 pelanggan. Terima kasih untuk Anda yang sudah ikut menjaga ruang ini tetap bernalar, tetap bernurani. Jika menurut Anda memo ini berarti, kirimkan ke satu orang teman Anda hari ini….
Budiman Tanuredjo
MemoBDM
Dari Ruang Tamu ke Ruang Publik