Panglima-panglima Politik
Negara yang sedang tertidur karena mabuk kekuasaan tidak akan terbangun oleh bunyi lonceng. Ia hanya bisa disadarkan oleh suara nurani. Suara-suara jernih tentang apa itu hakikat kekuasaan…
Seminggu ini saya tercenung. Saya menangkap ada pesan politik sistematis dari politisi Senayan. Ketua Komisi III DPR Habiburohman (Gerindra, Jakarta I) secara berseloroh menyindir sembilan hakim konstitusi. “Kita capek membuat undang-undang, tapi dengan mudah dibatalkan sembilan hakim konstituti.”
Keluhan itu bukan baru. Jauh sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Pacul (PDIP, Jawa Tengah IV) menganalogikan DPR sebagai pemegang saham dan hakim konstitusi sebagai direksi. Ketika direksi tidak tunduk, maka pemegang saham bisa menggugat. Hakim konstitusi pun tak luput dari “recall”—mekanisme yang secara konstitusional tidak tersedia.
Komisi III me-”recall” hakim konstitusi Aswanto karena dianggap “mbalelo” dalam putusan UU Cipta Kerja. Aswanto kemudian digantikan Guntur Hamzah. Proses itu tidak prosedural. Politik kekuasaan tengah menjadi panglima. Tanpa perlawanan. Tanpa gugatan. Semua tunduk dan patuh.
Jauh hari sebelumnya, DPR membuat aturan internal bernama Tatib. Tatib itu memberikan wewenang pada DPR sendiri untuk bisa mengevaluasi pejabat yang dipilih oleh DPR melalui fit and proper test. Artinya, hakim agung, hakim konstitusi, ketua KPK, kapolri, bisa evaluasi oleh DPR. DPR seperti telah menjadi seperti kepanjangan tangan dari eksekutif?
Terbaru dalam uji materi UU TNI, baik DPR dan Pemerintah kompak bersikap satu suara: pemohon uji materi tidak representatif. Penggugat berstatus mahasiswa dan ibu rumah tangga. Mereka, bukan anggota TNI, bukan calon prajurit, sehingga tak representatif sebagai penguji materi UU TNI.
Lha, terus siapa yang boleh menguji materi terkait dengan UU TNI? Siapa yang berhak menguji materi UU BUMN misalnya? Harus pejabat BUMN? Jawabannya jelas tidak! Setiap warganegara yang mengalami kerugian konstitusional bisa melakukan uji materi. Tak dibatasi profesi, jabatan, atau afiliasi. Apalagi mereka adalah sama-sama pembayar pajak.
Negeri ini kerap berstandar ganda. Dulu, ketika mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqilbbiru, mengajukan gugatan syarat usia capres dan membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wapres, legal standing mahasiswa dalam uji materi syarat usia diterima. Kenapa sekarang legal standing mahasiswa dan ibu rumah tangga dipersoalkan? Padahal menguji materi UU ke MK adalah jalan konstitusional.
Menghadapi uji materi UU TNI, DPR dan Pemerintah datang dengan tim penuh. Ada Ketua Komisi I DPR Utut Adiyanto (FPDI, Jateng VII) dan Ketua Baleg Bob Hasan (Gerindra, Lampung II). Ada dua menteri, Supratman Andi Agtas (Menteri Hukum) dan Sjafrie Sjamsoeddin dan dua wamen Eddy Hiariej dan Donny Ermawan. “Ini luar biasa. Biasanya kalau persidangan di MK, saat agenda keterangan pemerintah, yang datang dirjen,” ujar Suhartoyo, Ketua MK.
Datang ke MK memberikan keterangan dengan tim penuh adalah positif. Semoga untuk uji materi semua UU demikian adanya.
Mahkamah kadang dipuji. Kadang dimaki. Tapi putusannya harus diikuti. Tapi ketika MK tidak sejalan dengan aspirasi elite, lembaga ini langsung diseret ke palung delegitimasi dan dibayang-bayangi “recalling”. Ini inkonsistensi sikap. Bukan mengacu pada konstitusi. Bukan pada nilai. Tapi pada kepentingan sesaat. Dalam bahasa sehari-hari: mencla-mencle. Esuk dele, sore tempe.
Saya menelisik jauh ke dalam saat perdebatan perubahan konstitusi dirumuskan. Jakob Tobing dalam disertasinya di Leiden menulis dengan mengutip Hans Kelsen, dengan mengadopsi prinsip pengujian konstitusionalitas, ia hendak memastikan setiap statuta yang dibuat melalui proses legislatif tidak menyalahi konstitusi. MK melindungi demokrasi dari ancaman eksesnya sendiri.
MK diadopsi karena efeknya yang kontra mayoritas karena kemampuannya melindungi nilai substansi demokrasi dari badan terpilih. Maka, kedaulatan rakyat akan selalu ditundukkan pada konstitusi. Bila semua UU ditentukan oleh parlemen maka tidak dibutuhkan institusi legislasi lain. Namun karena parleman juga berpotensi menyimpang, konstitusi menciptakan institusi terpisah: bernama Mahkamah Konstitusi.
Bangsa ini sebenarnya sedang di persimpangan jalan. Jalan politik atau jalan konstitusi. Negara hukum atau negara kekuasaan. Inilah pertarungan diam-diam antara dua kutub: supremasi konstitusi dan supremasi politik. Dan dalam pertarungan itu, kekuasaan tidak selalu berada di sisi hukum.
Politik Menjadi Panglima
Apa yang terjadi adalah gejala klasik ketika kekuasaan tak mau dikontrol. Politik ingin menjadi panglima, bukan dijaga oleh aturan. Bukan dijaga oleh konstitusi. Jika aturan menghambat, aturan itu diubah, disesuaikan dengan selera kekuasaan. Mau contoh? UU Kementerian Negara diubah agar jumlah menteri bisa ditambah. UU BUMN direvisi ketika ada keinginan direksi dan komisaris BUMN dilepaskan statusnya sebagai penyelenggara negara. Penyelenggara adalah obyek korupsi KPK.
Dalam teori constitutionalism, Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir agar kekuasaan tidak berjalan liar. Tapi hari ini, benteng itu justru dipersoalkan. Dalam teori delegative democracy (O'Donnell), kekuasaan cenderung merasa hanya bertanggung jawab pada pemilu—bukan pada norma, bukan pada hukum. Ketika sudah menang, maka semua boleh. Negara adalah kehendak yang berkuasa. Pikiran itu tidak tepat karena konstitusi adalah kontrak sosial bangsa.
Lebih jauh lagi, ini juga bisa dibaca dengan kerangka state capture: ketika institusi negara, termasuk pengadilan, dicoba dikooptasi melalui tekanan politik agar sejalan dengan kepentingan elite.
Lelap dalam Kekuasaan
Ketika suara dikendalikan, ketika lembaga dikondisikan, karena berbeda sikap, maka negeri ini perlahan kehilangan keseimbangan. Kekuasaan tak bisa disangkal, padahal ia mestinya terus diawasi.
"Negara tidak dibangun untuk menidurkan warga, tapi membangkitkan kesadaran mereka."
Maka, pertanyaan bagi kita: siapa yang akan membangunkan negeri ini? Ketika negara bisa menyadap semua percakapan warganegara? Ketika orang yang mengingatkan disingkirkan, apakah kita akan terus tertidur dalam kesadaran palsu? Ketika ada yang mempersoalkan ke jalur hukum dikondisikan agar gugatannya dibatalkan. Ada dua pola di tangan: dikooptasi untuk sama-sama menikmati nikmat kekuasaan atau diintimidasi agar tidak merecoki kekuasaan…?
Memo untuk Anda
Hukum bukan pengganggu. Ia penjaga. Dan ketika penjaga mulai disalahkan, maka pertanda negeri sedang lelap… dalam kekuasaan. John Locke mengatakan, “di mana hukum berakhir, di situ tirani bermula.” Adapun Thomas Paine menulis, “hukum adalah raja”. John Adams mempopulerkan pemikiran, “pemerintahan hukum, bukan manusia.”
Gagasan sentral di atas terfokus pada, “hukumlah yang memerintah, bukan manusia.”
MemoBDM hadir dari ruang sunyi, untuk menyuarakan yang terlupakan. Jika Anda percaya suara semacam ini perlu dijaga, mari kita jaga bersama. Bantu sebarkan kepada teman yang Anda percaya agar jurnalisme bisa membantu sesama, membantu yang papa. Terima kasih kepada zahr_cartoonizer, asal Bantul yang ilustrasinya saya pakai.
Pemerintah pasti sudah punya "agenda"nya sendiri yang belakangan disadari hanya berkedok untuk kepentingan rakyat, padahal kebanyakan untuk semakin memperkaya oligarki. Tak heran presiden yang terpilih pun orang yang mempunyai catatan hitam di masa lalu supaya tahu sama tahu, mudah diajak kerja sama.
Tugas kaum intelektual yang masih "waras" membangun kekuatannya sendiri dan terus maju bersama rakyat yang sama "waras"nya. Tak usah banyak mengandalkan pemerintah yang sedang mabuk kepayang. Biar saja orang mabuk akan ambruk dan terpuruk karena kebodohannya sendiri. Life must go on. Pilihan2 ada di tangan kita. Semoga kita bisa menjatuhkan pilihan-pilihan ysng bijaksana. Terima kasih Pak BDM, teruslah menulis untuk menjaga semangat dsn kewarasan bersama🙏💪🔥🇮🇩